Pagi itu, alarm baru bunyi sekali, tapi suara bunda sudah kayak sirene ambulans.
“Cepet bangun! Bus sekolahnya gak nungguin!”
Dan di situlah saya — siswi SMA yang tinggal di tengah kebun tebu — memulai
hari yang epic
seperti biasanya.
Rumah saya bukan
di kota, bukan juga di desa, tapi di “zona tebu internasional.” Sejauh mata
memandang, isinya batang-batang tebu hijau menjulang. Kalau lagi musim kemarau,
jalanan menuju rumah bisa bikin kulit gratisan scrub debu natural. Tapi
kalau musim hujan, siap-siap deh... sepatu sekolah berubah jadi “sepatu boots
pertanian edisi becek edition.”
Sekolah saya
jaraknya lumayan jauh, kayak hubungan LDR yang harus diperjuangkan. Jadi tiap
hari saya naik bus sekolah. Tapi bus ini punya prinsip hidup yang keras: on
time atau ditinggal!
Pokoknya kalau belum nongol pas waktunya, ya wassalam.
Jam 05.30 pagi
saya udah siap setengah sadar, siapin bontot, minum, ponsel, id card, dan
lain-lain sampai sampai tas kadang belum dikancingin. Pernah suatu kali, saya
lari ke jalan sambil ngos-ngosan, eh bus-nya udah lewat. Akhirnya berdiri di
pinggir jalan, nonton debunya menjauh, sambil mikir,
“Yaudah deh, kayaknya jodoh gua sama bus emang gak direstuin alam.”
Kalau bus datang,
suasananya kayak konser mini. Saya dan teman-teman satu rute naik dengan gaya
pahlawan kesiangan. Rebutan duduk di kursi belakang, katanya biar seru buat
nyanyi-nyanyi atau bikin video TikTok. Tapi begitu jalan berlubang, langsung
ada yang teriak,
“Woiii! Pegangan! Lubang lagi nih!”
Dan semuanya otomatis lompat kecil, kayak ikut senam pagi gratis.
Tapi jujur, meski
tiap hari harus berjuang lawan debu, becek, dan waktu, saya gak pernah
benar-benar ngeluh. Soalnya, tiap pagi yang ribet itu justru bikin saya punya
banyak cerita.
Teman-teman di kota suka ngeluh karena “macet di lampu merah.” Saya cuma senyum,
“Macet lampu merah mah masih mending, gua mah macet lumpur tiap musim hujan.”
Setiap sore, bus
yang sama nganterin pulang. Saya duduk di dekat jendela, lihat kebun tebu yang
bergoyang diterpa angin, sambil mikir:
mungkin hidup emang kayak jalan di kebun tebu — kadang becek, kadang berdebu,
tapi selalu ada arah pulang.
Dan dari semua
perjalanan itu, saya belajar satu hal penting:
“Kalau hidup terasa berat, mungkin kamu cuma lagi naik bus di jalan
berlubang menuju masa depan yang manis”.
0 Komentar